Bicaramusik.id – Bukan urakan seperti yang kita kira. Penggemar musik metal itu identik dengan baju hitam-hitam, tampang sangar, dan hobi baku hantam di moshpit saat nonton gigs. Tapi, apakah mereka hidup ugal-ugalan?
Simpan dulu stigma negatifmu itu, kawan.
Lindsay Bishop, seorang antropolog dari University College London (UCL) ikut tur bersama sejumlah band metal di Inggris, Amerika dan Eropa untuk membuktikan bahwa para pencinta metal justru punya kepribadian yang baik. Itu terlihat dari bagaimana solidaritas mereka di moshpit, dan toleransi mereka terhadap penggemar yang berbeda usia, orientasi seksual, pilihan politik dan agama.
Etika moshpit
Salah satu temuan kunci penelitian Bishop adalah bahwa fans metal itu ternyata punya kode etik tak tertulis tentang moshing. Moshing lebih tepat dianggap ‘
controlled chaos’ ketimbang baku hantam berbahaya.
Nggak pernah ada paksaan untuk moshing, moshing itu sukarela. Terus, setiap ada yang terjatuh atau tersakiti, penonton lain punya kesadaran untuk berhenti moshing demi membantu.
“Mosh pits, crowd surfing, circle pits-adalah ciri khas komunitas metal. Generasi lebih tua mengajarkan etika di moshpit dan para fans baru jadi paham kalau moshing itu bukan perkelahian. Moshing adalah cara untuk melepas tensi dan menciptakan solidaritas,” kata Bishop.
Dalam budaya metal, agresi itu bukan diekspresikan dengan melawan budaya mainstream seperti yang dilakukan komunitas punk. Di metal, agresi diekspresikan di kerumunan mosh-pit.
Inklusivitas
Menurut Bishop, persepsi bahwa anak metal itu urakan dan ngerasa dirinya paling keren, itu salah. Anak metal justru punya inklusivitas dan toleransi kuat di komunitas antar generasinya. Anak metal akan membiarkan siapapun untuk menikmati musik metal. Mau dia orang tua, ABG labil, cowok, cewek, siapapun bisa memiliki metal. Coba saja kamu datang ke konser Metallica. Kamu akan melihat banyak penonton seusia Jokowi ikut headbangs, dan perempuan necis ikut screaming.
“Faktanya, banyak perempuan yang menjadi bagian dari komunitas metal,” kata Bishop.
Pertemanan dan fandom yang akrab
Hubungan antara penggemar dan musisi di dalam musik metal pun seperti tak bersekat. Para musisi metal kebanyakan berjiwa egaliter. Mereka bukan seperti bintang yang sulit dijangkau.
Di saat konser misalnya, musisi sering mengajak penonton untuk berinteraksi. Drummer melempar stik drumnya, vokalis menodongkan mic agar penonton mengambil alih vokal, dan para penonton pun tak segan untuk melempar sesuatu ke panggung sebagai hadiah serta ikut membopong musisi yang lompat dari panggung.
Di luar panggung pun, para fans intens berkomunikasi berkat media sosial. Sesekali, band pun bikin acara kumpul-kumpul bersama fans.
“Bagi band metal, untuk menjadi sukses, mereka harus meluangkan waktu untuk mendapuk respek dari audiens,” tulis Bishop.
So, kalau kamu memang anak musik, coba pahami esensi musik yang satu ini. Bahwa musik itu juga tentang kebebasan dan kebersamaan!
Referensi :
Heavy metal music is inclusive and governed by rules of etiquette,
https://www.ucl.ac.uk/news/2018/sep/heavy-metal-music-inclusive-and-governed-rules-etiquette
Penulis : Rizki Ramadan
Editor : Antie Mauliawati