- By : Bicara Musik
- 2020-05-12
Ulasan Rainbow Aisle dari Stars and Rabbit
Bicaramusik.id - Album Rainbow Aisle dari Stars and Rabbit mungkin sudah berusia lebih dari dua bulan, namun nampaknya trek-trek di dalamnya belum juga membosankan. Elda Suryani, yang kini ditemani Didit Saad, beranjak jauh dari musiknya di album perdana. Masuknya Didit dan keluarnya Adi Widodo cukup memberi pengaruh pada eksplorasi musik Stars and Rabbit dalam album yang dirilis 26 Februari lalu ini.
Musik Stars and Rabbit kini bisa dibilang, anu, hmmm, ... yang jelas mereka sekarang akan punya kemungkinan kecil masuk playlist Indofolk di Spotify. Kadar distorsi sedikit kentara. Mungkin kalau mau merujuk genre zaman-zaman Last.fm pertengahan 2000-an , musik mereka dekat dengan definisi indie rock atau indie pop.
https://open.spotify.com/album/1ZzgWCXyyFBIchxsZ87cJn?si=E1Us_QZQTRa2CpMu6S2pOg
Contoh paling nyata mungkin single pertama sekaligus lagu pembuka, “Little Mischievous”. Dari jembrengan pertama Didit Saad di intro saja sudah ketahuan kalau Stars and Rabbit tidak lagi “Man Upon the Hill”. Iringan gitar kasar tentu jauh berbeda dengan petikan akustik di lagu andalan album perdana itu. Namun, vokal Elda memang dari dulunya sudah cukup nakal. Jadi biarpun musiknya berbeda, mungkin pendengar tetap akan tahu bahwa yang mereka dengar adalah Stars and Rabbit.
Dua lagu minor selanjutnya, “Illusory Utopia”, dan yang lebih penuh phaser “Naked King” masih ada di nafas yang sama biarpun sedikit berbeda dari trek pertama. Keduanya makin menegaskan bahwa Stars and Rabbit cocok berada di antara band-band dari masa Cajun Dance Party, The Wombat, The Sound, The Hoosiers, Yeah Yeah Yeahs, hingga The Temper Trap.
Suasana kembali ceria di “Any Day in the Park”. Trek kelima yang juga dijadikan single ini bisa jadi lagu paling ceria dalam Raibow Aisle. Video pengiringnya juga mewakili nuansa senang-senang yang dibawa pilihan nada Elda dan Didit.
“The Magician” membawa suasana naik turun. Dibuka dengan racauan entah dari bahasa mana yang cukup bikin canggung, saat vokal Elda masuk tiba-tiba telinga jadi ceria. Namun, kelanjutannya cukup bikin canggung lagi sampai chorus. Karena itu, lagu ini memang menarik dan naik turun.
Dari sini, tempo jauh beranjak turun. “St. Ann” merupakan balada yang cukup menyejukkan. Genjrengan gitar akustik sedikit memebawa Constellation di tengah hiruk-pikuk album ini. Mungkin jika diposisikan sama dengan “I’ll Go Along”, keduanya akan menjadi sebuah jembatan yang menengahi kedua karakter album Stars and Rabbit.
Seperti telah dibahas, “I Don’t Wish to Carry You Anymore”, “Blue Boat Lovers”, “Attic No.7”, hingga “In the Meantime” adalah titik terpelan Rainbow Aisle. Biarpun tak terdengar suara gitar akustik, petikan di beberapa lagu masih punya suasana itu.
“Blue Boat Lovers” punya keistimewaan tersendiri. Alunan kolaborator mereka, pemain selo, Alvin Witrasa, cukup membawa nuansa berbeda. Gesekan selo sungguh tepat dipadukan dengan petikan gitar Didit. Anehnya, timbre Elda terdengar agak berbeda dalam lagu ini, mungkin karena nada-nada lagu yang dominan rendah.
Trek selanjutnya pun tak kalah spesial. “Attic No.7” terdengar seperti Nujabes jika ia meninggalkan keyboard dan mengambil gitar. Entakan bergantian kick dan snare memberi sedikit rasa industrial yang juga terasa di beberapa karya Björk. Mungkin perbandingan “A Day in the Park” dan “Attic No.7” hampir sama dengan perbandingan “It’s Oh So Quiet” dan “Pagan Poetry”. Oh iya, keanehan, keunikan mungkin,Elda memang serupa Björk. Suara, penampilan, dan aksi penggung mereka terasa sealiran. Biarpun karya mereka cukup jauh dari sama tapi keduanya punya sisi yang bisa disebut unik.
Elda memang sudah unik sejak dulu. Timbre anehnya pernah mewarnai kancah mayor 2000-an melalui EVO. Band tersebut merupakan proyek yang sama-sama pernah dilakoni Elda dan Didit. Rainbow Aisle sedikit mengingatkan telinga pada EVO. Mungkin, kalau mereka memilih untuk lebih samping saat itu, Stars and Rabbit versi sekarang lah yang akan muncul. Saat itu, EVO lebih memilih musik rock alternatif pada umumnya namun dengan vokal Elda sebagai pembeda. Tokoh lain yang ada di sana pun memang yang lekat dengan dunia musik yang berjaya pada zamannya, Adnil (Base Jam), Erwin (Dewa 19), dan Ronald (GIGI).
Sebelum Rainbow Aisle, Stars and Rabbit lebih dulu berkolaborasi dengan duo elektronik, Bottlesmoker, untuk album Pieces That Fit. Nomor-nomor di album tersebut bisa dijadikan jembatan antara Constellation dan Rainbow Aisle walaupun sebenernya lagu-lagu terseut bisa jadi entitas berbeda.
Stars and Rabbit menutup album mereka dengan dua nomor yang sama-sama berkesan. Tempo dinaikan lagi sedikit melalui “Story of Them All”. Suasana yang dihasilkan hampir sama dengan “Little Mischievous”. Kalau lagu ini tidak dberi posisi di akhir mungkin Rainbow Aisle akan jadi album yang membosankan karena dari pertengahan album hingga ke sini, lagu-lagunya cenderung menurunkan tensi. “Untitled 4” sendiri menjadi penutup yang manis. Hanya ditemani petikan gitar elektrik dan senandung dan pencetan tuts di sana-sini, suara Elda sungguh bisa menjadi lagu pengantar tidur macam “Sleep Walk”.
Walaupun banyak yang berubah dari Stars and Rabbit sepeninggalan Adi Widodo dan datangnya Didit Saad, mereka nampaknya tidak akan kehilangan penggemar terdahulunya. Rainbow Aisle masih Stars and Rabbit jika ditilik lebih dalam dan album tersebut sungguh bisa dinikmati.
Penulis: Abyan Nabilio