Bicaramusik.id – Sabtu (18/1) malam itu, Febyka, atau biasa disapa Ibev, sedang memilihkan durian untuk tamunya sesama musikus dari pulau Jawa (tepatnya Jakarta dan Bandung) di kawasan Way Halim, Bandar Lampung. Pilihannya tidak ada yang gagal, terlihat dari ekspresi puas dari wajah para tamu. Orang Sumatra sepertinya lebih terbiasa berhadapan dengan durian dibanding orang Jawa.
Sembari menyantap sajian yang katanya bisa memabukkan jika dikonsumsi berlebihan itu, salah satu tamunya membuka bahasan yang membuat Ibev melepaskan curhatannya soal bermusik. Kebetulan manajernya Beni (alias Abah) juga sedang hadir di sana dan, bersama Ibev, cukup untuk mewakili band mereka, MRNMRS.
“Dulu kita formasinya berdua, gitar sama vokal,” jelas Ibev tentang masa awal bandnya dan mungkin asal mula nama MRNMRS (Mr.
and Mrs.). “Kita terbentuk tahun 2012, bikin EP di tahun yang sama, dan enggak lama gitarisnya harus cabut.”
Album mini bertajuk
Pretty Butterfly yang ia sebut tadi berisikan empat trek bernuansa
folk jazz yang bisa didengarkan secara penuh di akun
Soundcloud mereka.
https://soundcloud.com/mrsnmrs/preety-butterfly-ep-pretty
Setelah sempat bergonta-ganti formasi dengan format duo maupun band penuh (dan sempat juga beberapa kali vakum) akhirnya MRNMRS diperkuat oleh Panji (bas) dan Steven (drum) sejak 2018. Mungkin Ibev kapok dengan gitaris. Abah pun menjelaskan bahwa alasan gitaris terakhir tidak melanjutkan adalah hal pribadi yang tidak etis jika dituliskan di sini tapi bisa ditebak. Pria dan wanita menjalankan band berdua, paham kan?
Formasi terakhir ini menimbulkan banyak pekerjaan rumah bagi MRNMRS. Pertama dari segi musik. Modal yang mereka miliki hanyalah
rhythm section dari permainan bas Panji dan drum Steven dan unsur monofonik dari vokal Ibev. Mereka kekurangan unsur polifonik berbentuk akor yang biasa dimainkan dengan piano atau gitar.
Namun, menurut Ibev, itu bisa jadi daya tarik tesendiri. “Formasi ini dibentuk biar MRNMRS beda,” tuturnya.
Untuk mengurangi kekurangan itu, Ibev kadang bermain
synth di beberapa lagu. Mereka juga terpaksa harus menyiapkan
sequencer agar penampilan
live-nya tidak sepi. Selain itu, Panji juga harus memutar otak agar musik MRNMRS terasa ramai, seperti mengisi bagian polifonik gitar dengan terkadang bermain bas dengan akor. Untuk menemani Panji, set drum milik Steven juga tidak biasa. Ia hanya menggunakan
snare, hi-hati, ride, dan sebuah
bass box untuk menggantikan
bass drum di
kick.
“Karakter
bass box cocok dengan
sound bas Panji,” kata Ibev tentang alasan mereka memilih set tersebut.
Untungnya, Panji dan Steven merupakan pemain musik reguleran yang kemampuannya tidak perlu diragukan.
Ini adalah faktor dari masalah kedua. Panji dan Steven harus bekerja bermain musik secara reguler sedangkan Ibev merupakan seorang pegawai hotel di hari biasa. Di akhir pekan, Panji dan Steven mengajar musik untuk pelayanan di gereja.
“Akhirnya cuma saya dan Ibev yang sempat membicarakan konsep dan arah band ini di
weekend,” aku Abah. “Mereka juga kerja untuk menghidupi band karena memang belum bisa menghasilkan, jadi enggak bisa disalahkan juga.”
Sejauh ini, MRNMRS sudah memiliki dua album mini, tapi mereka sedang berfokus pada yang teranyar,
She’s on Process. Hanya lagu-lagu dari album yang judulnya diambil dari salah satu trek di
Pretty Butterfly ini lah yang biasa mereka bawakan di panggung.
“She’s on Process” sebagai lagu bisa didengarkan di bawah.
https://soundcloud.com/mrsnmrs/shes-on-process
She’s on Process
Sulit membayangkan proses kreatif pembuatan lagu dimulai dari vokalnya, apa lagi dengan formasi seperti MRNMRS, namun begitulah cara album mini ini terbentuk. Ditambah lagi, biarpun memang bisa bermain piano dan paham akan akor, Ibev mengaku bukanlah jenis musikus yang bisa membuat bahannya sendiri. Ia butuh partner untuk mencari padanan tepat sebuah lagu. Karena itu, bahan kelima trek di
She’s on Process yang dirilis pada 2019 lalu itu sebenarnya sudah ada sebelum Panji dan Steven masuk. Ibev tinggal memberikan materi vokal yang ia buat bersama gitaris lamanya untuk diaransemen ulang sesuai formasi.
https://open.spotify.com/album/5RFpSUthhcBVMBTFAxcyOR?si=bdfd43sSSCWZ-VvOyBbQXg
Tidak ada yang salah di setiap awal lagu dalam album mini tersebut. Trio ini terdengar begitu eksperimental, memainkan nada minor yang beberapa terdengar aneh (
diminished atau
augmented, mungkin?) dibalut tempo putus-putus yang membuat bas dan drum terasa kawin, dengan formasi uniknya. Namun, saat beranjak ke
chorus tiap lagu, masalah kekurangan unsur polifonik yang sebelumnya dibahas mulai terasa, dan paling parah di trek penutup, “Await”.
Dalam
chorus-nya MRNMRS, kebanyakan menggunakan nada-nada mayor panjang yang, jika dimainkan dengan aransemen ramai, akan terasa aman tapi sungguh terdengar sepi dengan formasi mereka sekarang. Versi rekaman masih bisa diakali, tapi pekerjaan rumah akan bertambah jika dibawakan secara langsung.
Coba bandingkan “Daydreaming” pra- dan pasca-Panji dan Steven ini.
https://youtu.be/t881brrqL3w
https://open.spotify.com/track/280Tu1H3k3sRP65dYXwqbe?si=BfzKIOw-Rc247gH5AfRjBQ
Versi pertama memang dibawa ke arah akustik (dengan format lama), jadi tidak ada tuntutan untuk terdengar “ramai”. Di lain sisi, “Daydreaming” versi
She’s on Process (mungkin karena ada drum) sedikit terasa lebih sepi.
Bagian terbaik mereka adalah saat memainkan tempo putus-putus (stakato ya kalau tidak salah istilahnya?). Sebaiknya, Panji dan Steven memperbanyak bagian semacam itu sembari mengurangi nada-nada panjang yang terkesan “lepas” di
chorus untuk lebih mengawinkan
rhythm section dan vokal.
Mungkin (maaf jika tulisan ini sok tahu dan mungkin banyak mungkinnya), Ibev dkk bisa mendengarkan Esperanza Spalding yang memang vokalis berlandaskan bas. Hiatus Kaiyote yang banyak menggunakan tempo putus-putus juga (mungkin) bisa membantu untuk dijadikan acuan. Dibanding Hiatus Kaiyote, MRNMRS punya kelebihan karena tidak perlu mengajarkan gitaris akor-akor aneh yang harus bergantian dimainkan tiap ganti ketukan seperti Nai Palm. Kedua acuan tadi punya
jazz sebagai nama tengah, jadi mau tidak mau sila Ibev, Panji, dan Steven sok-sokan mengaku
jazz kalau memang masukan ini berguna.
Selain tempo putus-putus tadi, bagian terbaik dari musik mereka adalah racauan Ibev yang mengawang di tengah-tengah “Dear Beardyman” dan “Daydreaming”. Bagian semacam ini musti (jika tidak sebaiknya) diperbanyak karena itu bagaikan bisa dijadikan ciri khas MRNMRS.
Berjuang di Luar Jakarta
Perbincangan di depot durian ternyata berujung panjang, walaupun belum ada di antara mereka yang terlihat mabuk. Abah, yang tadinya mengeluhkan soal membagi waktu dan keterbatasan alat, kini beranjak ke kesulitan menjual MRNMRS.
Nama MRNMRS memang sudah cukup besar di kampung halamannya, Bandar Lampung.
“Tapi di sini
ska dan
folk masih jadi langganan pensi dan acara-acara lain,” aku Abah. Ibev dkk harus rela berakhir menjadi band pembuka acara-acara komersial yang mebawa bintang besar dari pulau Jawa.
Abah setuju bahwa yang bisa menyaingi ekosistem bermusik Jakarta tanpa sang musikus harus pindah ke sana saat ini hanyalah Yogyakarta dan Bali. “Mungkin karena ekosistemnya sudah terbentuk duluan,” tuturnya.
MRNMRS akhirnya mencoba ke luar Lampung untuk memasarkan musiknya. Untuk mempromosikan
She’s on Process saja, mereka perlu melakukan tur ke beberapa titik di Jakarta dan Bandung. Ingat masalah pembagian waktu mereka untuk band di awal? Coba bayangkan betapa mereka harus memutar otak untuk mencari kesempatan.
“Itu kenapa jadinya
Tur Akhir Bulan,” kata Abah soal serangkain tur MRNMRS yang memanfaatkan curi-curi cuti tiap personel.
Tahun lalu, Ibev, Panji, dan Steven meluangkan masing-masing tiga hari di akhir bulan Oktober dan November untuk berkeliling Jakarta dan Bandung secara berturut-turut. Desembernya, mereka menambah titik ke kota yang lebih terjangkau, Jambi. Dampak dari rangkaian tur tersebut dirasa lumayan besar.
“Target
followers (media sosial) tercapai,” kata Ibev. “Kita sempat juga berbagi ilmu sama (Endah n Rhesa) di Earhouse. Main di ISBI (Bandung) panggung paling berkesan selama tur karena tanggapan penontonnya positif sekali.”
Karena ekosistem pendengar yang belum terbentuk di Sumatra, Abah dan Ibev sama-sama mengaku lebih tertarik mencari pasar di pulau Jawa. Ibev pun tak masalah jika dibawa oleh
brand-brand komersial (sebut saja rokok) berkedok kolektif untuk alasan ini dan kalau ada kesempatan untuk pindah ke Jakarta, pasti akan mereka ambil.
“Tapi kalau mau pindah ke Jakarta kan harus bawa ekor dua (Panji dan Steven),” ujar Ibev yang masih mampu jika dipaksakan mencari kerja di Ibu Kota. “Nanti yang ngidupin mereka siapa.”
Sang vokalis dan si manajer akhirnya sepakat jawaban terbaik saat ini adalah pindah ke Jakarta jika ada kesempatan. Saat ditanya alasannya mengapa, salah satu tamunya yang brewokan (bukan yang memulai perbincangan di awal) menceplos, “Karena kapitalnya di sana semua.”
“Nah itu sebenarnya jawaban yang ditunggu-tunggu,” saut Abah. Jakarta punya Ismaya dengan segala perintilannya. Jakarta punya orang-orang macam Ucup Syncro, Indra Ameng, Wendi Putranto, dan siapa lah itu. Jakarta punya pemodal dan jembatan antara pemodal dan musik. Jakarta punya yang Lampung tidak punya. Ini mungkin yang mebuat Soni Triantoro mengatakan bahwa sentralisasi Jakarta memang “mengesalkan sejak dulu” dalam tulisannya berjudul “
Musik Indonesia Akan Baik-Baik Saja tanpa Jakarta” di
Tirto.id.
Soni, dalam tulisannya, menjadikan NDX AKA sebagai contoh baik yang berhasil di luar Jakarta. Grup dangdut
hip hop ini bisa memanfaatkan ke-“dangdut”-annya untuk mendapatkan panggung-panggung sekitaran Jawa Timur dan Jawa Tengah tanpa harus menyasar kota-kota pusat industri kreatif. Sisi ke-“dangdut”-an ini nampaknya tidak dimiliki MRNMRS. PR lagi. Ayo Panji, Steven kita ngulik
ska.
Contoh lain yang dibahas Soni, Rebellion Rose yang mengundang dua puluh band lebih ditambah
camping ground untuk
showcase album ketiganya,
Sehat Selalu Sodaraku. Ayo Abah kita cari sponsor.
Pelajaran yang bisa diambil dari tulisan Soni adalah mencari celah dalam kesempitan masing-masing. Kalau dikulik lagi, pasti MRNMRS punya celah tersebut dari segi musik maupun pergerakan orang-orang sekitar.
Untuk saat ini, Ibev sedang mencoba mencari materi untuk lagu baru. Ia tertarik untuk membuat lagu yang lebih mudah masuk di telinga pendengar umum. Akan tetapi, ia mengaku memiliki partner basis lebih sulit dibanding gitaris untuk membuat bagan vokal.
Ya sudah lah. Hal yang paling tepat untuk dilakukan saat ini adalah memasukkan air ke sisa kulit durian yang sudah kosong, mencuci tangan di sana, diminum jika perlu, masuk ke mobil masing-masing, sampai rumah, dan tidur. Kalau tidak begitu, obrolan semacam ini bisa berakhir lusa paginya. Apa pun yang kalian lakukan, MRNMRS, musik kalian sungguh layak untuk didengar.
Penulis: Abyan Nabilio
Foto: Dok. MRNMRS