Bicaramusik.id - Dua pemuda yang tak begitu muda lagi itu nampak sedang mengintai sebuah rumah mewah dengan dekorasi pos satpam kosong di depannya. Ditemani teriknya siang Jakarta Timur di pertengahan Februari yang tak begitu janggal, mereka bertingkah linglung seperti menunggu seseorang sembari melihat ponsel masing-masing. Setelah luntang-lantung di hadapan pos satpam sekitar 15 menit, seseorang dari dalam rumah mendekati gerbang masuk, menghampiri mereka. “Sudah lama?” tanya wajah tak asing dari dalam sambil membukakan pagar. “Enggak begitu kok,” jawab salah satu pemuda yang rambutnya lebih pendek dengan celana yang sama pendeknya. “Baru sepuluh menitan,” tambah rekannya yang lebih berantakan dengan rambut gondrong dan setelan semibudayawan, mengurangi waktu tunggu mereka agar tuan rumah kehormatan gagal merasa tak enak. Sang tuan rumah ternyata bukan orang biasa. Ia merupakan solois jazz muda Ibu Kota ternama favorit kaum hawa semua usia, Ardhito Pramono. Dhito memimpin kedua tamunya berjalan lurus dari arah gerbang, mengabaikan bangunan rumah di kanan, tembus hingga halaman belakang dengan ring basket dan bangunan yang lebih kecil di sana. Mereka bertiga masuk ke bangunan lebih kecil yang ternyata studio milik Dhito. Kurang ajar sekali mereka yang tidak bisa produktif di sini, pikir si celana pendek sambil mengagumi ruangan yang dimasukinya. Sofa coklat di tengah ruangan dengan meja kecil penuh botol di depannya , drum di sisi kanan meja tersebut, piano di belakang sofa, komputer di kiri, suhu yang pas dari pengatur udara, ditambah pencahayaan yang dibuat remang menambah nuansa di mana lagu Tom Waits mana pun akan cocok dinikmati sambil menghisap kretek dan sekali dua meneguk minuman dari botol di atas meja kecil tadi. Mungkin, Anda sudah pernah melihat ruangan ini di beberapa video wawancara Ardhito. Nampaknya, ia lumayan sering mengundang tamu ke sini. “Ini rumah oma gue," jelas Dhito. “Gue di sini dari SMP dan akhirnya bikin jadi kayak gini. Gue sama bini gua juga sempat tinggal di sini walaupun sekarang ngekos.” Ia pun memperlihatkan ruangan tidur yang tak kalah nyamannya di samping studio walaupun lebar ruangan sama dengan lebar ranjang. Dengan keramahan yang tak disangka, Dhito membuka obrolan tak jauh-jauh dari musik setelah sedikit memberi sambutan ala MTV Cribs. Mereka saling berbagi referensi dan benar saja si tuan rumah ternyata mendengarkan Tom Waits. Lalu, perbincangan beranjak ke bagaimana karya Ella Fitzgerald di antara masa-masa peralihan musim jazz ke rock & roll hingga akhirnya nama Django Reinhardt tidak sengaja disebut. “Oh iya gue lagi suka lagu Django yang ini,” kata Dhito sambil mencoba mencari “After You’ve Gone” versi Fiona Apple di ponselnya, memang lagu dari zaman itu tak jelas siapa yang punya. Lagu itu telah diketahui oleh kedua belah pihak dan mereka setuju itu lagu yang menarik. Sadar bahwa selera musik mereka mungkin beririsan, Dhito langsung menuju ke komputernya. “Ini bahan EP nanti,” katanya kepada dua orang tamu yang bertanya-tanya tentang kedekatan mereka dengan sang tuan rumah hingga dibuatkan hearing session eksklusif bahan yang bahkan belum dirilis. “Arahnya ke Gilberto.” Entah Astrud atau Joao yang ia coba sebut, suasana pantai tropis Amerika Latin memang terasa dari lagu berjudul “Plaza Avenue” itu. Iringan gitar akustik yang dipetik jempol di senar atas dan tiga atau empat jari lain menyesuaikan ditambah snare yang nampanya digosok dengan stik sapu jadi penanda. Mantan pasutri asal Brazil tadi memang punya pencapaian masing-masing di kancah bossa nova. Kedua tamu langsung membakar rokok masing-masing, satu kretek berfilter yang lain tidak –walaupun segan menuang minuman dari botol di meja- untuk menyesuaikan dengan suasana ruangan dan musik yang dimainkan. Melihat kepuasan tamunya, si tuan rumah lantas semakin semangat mempertunjukkan potongan album mininya yang lain. Dengan wajah sesemringah bocah yang sedang pamer mainan baru ke temannya, Ardhito mulia memencat tombol play di komputer. Yang satu ini tak langsung menimbulkan air puas di kedua wajah pendatang. Mereka tampak menyesuaikan telinga sedikit ke intro jembrengan gitar elektrik yang terdengar seperti lagu pop kunci tujuh lazimnya. Namun, begitu masuk ke bagian utama lagu, ternyata iringan gitar kembali seperti di “Plaza Avenue” walaupun ketukan drumnya lebih terdengar seperti jazz bercampur pop era Jamie Cullum dibanding bossa nova. Nuansa “Gilberto” yang dibahas sebelumnya memuncak saat solo saksofon masuk bergantian dengan scat sederhana Dhito setelah verse kedua, di mana stik sapu kembali beraksi. Itu lah kira-kira kesan pertama yang didapat kedua orang asing di rumah Ardhito Pramono saat mendengar “925”. “Masih kerasa popnya kan?” tanya Dhito. Oh ternyata itu disengaja, pikir salah satu tamunya. Solois Ibu Kota ini memang selalu merendah saat ditanya apakah musik yang ia mainkan adalah jazz, setidaknya di siang Februari yang terik itu. Omong-omong, di luar ternyata sudah hujan. Hal tersebut dapat diketahui karena ada dua perempuan yang membuka pintu dan masuk ke studio, mengantarkan suguhan yang tak akan tersentuh hingga kedua tamu pulang nantinya. Salah satu dari perempuan tersebut nampaknya ibunda Dhito dan yang satunya bisa diyakini kekasihnya, Jeanne. Teringat kata-kata Dhito tentang tinggal bersama di ruangan sebelah studio, sulit meraba apa sebenarnya yang ia maksud dengan “bini”, mengingat ini rumah neneknya. Dari Brazil, Dhito beranjak ke Prancis. “Here We Go Again/Fanboi” yang diputar selanjutnya dibuka dengan permainan gitar yang sangat mungkin keluar dari gitar Selmer khas Django. Tapi ternyata bukan gypsy jazz yang coba dikejar karena solo gitar seperti di awal tak muncul lagi dan, walaupun mirip, nampaknya kocokan yang dimainkan gitar pengiring bukan lah la pompe khas gypsy. Lagu tersebut lebih mengarah pada jazz yang bisa disebut pop di masa-masa Perang Dunia II, sedikit mengingatkan pada Charles Trenet. Isian string dan alat tiup yang menyerupai bunyi klarinet memberi nuansa mirip lagu radio di mobil saat kabur dari kejaran komandan SS Nazi di The Saboteur. https://youtu.be/UD6ehlh0_jM Setelah digiring ke suasana yang mendayu-dayu, Dhito akhirnya memutar lagu terkencang di calon album mininya. Ketukannya lebih mirip lagu punk dibanding swing. Kalau mendengar “Trash Talkin’” dari belakang panggung, mungkin orang akan mengira yang bermain adalah Endank Soekamti, The Rang-Rangs, atau band cover The Ramones manapun karena yang terdengar mungkin hanya suara low dari bas dan drum. Namun, progresi yang sepertinya I-V-II-IV masih menimbulkan suasana Ardhito Pramono di sana. Walaupun tidak jazz-jazz amat, lagu ini mungkin yang paling menarik dari semua yang diperdengarkan tuan rumah saat itu. “Empat lagu doang To?” tanya salah satu dari mereka. “Ada satu lagi yang ballad,” jawab Dhito mengarah ke yang nantinya dikenal sebagai “Happy”. “Biasa pesanan label.” Ardhito memang salah satu musikus yang punya pencapaian berhasil bergerak di musik arus samping sembari menggaet label besar. https://youtu.be/k9couTf-HPc Mendengarkan materi album mini yang akan dikenal sebagai Craziest Thing Happened in My Backyard langsung di halaman belakang si empunya ternyata punya kesan tersendiri. Karena punya kata halaman belakang di judul, kedua tamu tadi, nantinya, akan berpikir mungkin Ardhito menciptakan album tersebut di halaman belakang rumah omanya dan itu album yang sungguh spektakuler hingga bisa disebut gila. Namun, setelah beberapa video musik dari materi mini albumnya keluar dan seorang penggemar berteori bahwa ada kisah pembunuhan kelam dalam serial tersebut dan bagaimana pembunuh dalam budaya populer kadang mengubur korban mereka di halaman belakangnya, masuk akal jika ada pesan lain dalam lagu-lagu di Craziest Thing Happened in My Backyard . Dhito mengonfirmasi maksud dari video-videonya, tentu, dengan klip terakhir untuk "Happy". Melihat latar belakangnya sebagai lulusan sekolah film, sangat mungkin ia memanfaatkan simbol-simbol visual untuk menyampaikan pesan-pesan kelam dalam nuansa yang seceria itu. Setelah semua trek habis ia putar -walaupun tidak disangka karena kedua tamu hanya berpikir akan diberikan sekadar cuplikan-, Dhito mengabarkan akan mengeluarkan seluruh EP-nya dalam dua format, mono dan stereo. Ia pun kembali menunjukkan "Trash Talkin'" rasa mono. Si celana pendek dan si gondrong pun terkesima mendengar versi tersebut karena dirasa lebih sesuai dengan musiknya. Suara musisi hapir 25 tahun itu dan semua instrumen seperti keluar dari sebuah gramofon. “Tanggal 29 Februari gue main di Java Jazz,” tambahnya tentang rencana ke depan yang mungkin akan menutup perbincangan mereka. “Ribet juga kerja sama artis luar.” Ia sedikit mengeluhkan kolaborasinya yang akan datang bersama pemain trompet asal Inggris,Ron King karena kendala jarak dan cara kerja. “Untung tim brass gue bisa nulis (partitur),” katanya merendah lagi sembari mengaku tidak bisa menulis walaupun bermain jazz. Kesempatan tersebut diakuinya sebagai momen yang tepat untuk memperkenalkan materi baru yang akan ia rilis sehari sebelumnya. Sekian cerita dari dua orang asing yang suatu hari berkunjung ke rumah nenek seorang Ardhito Pramono. Maaf kalau sedikit basi. Kalau saja tulisan ini dibuat lebih awal mungkin akan lebih berfaedah. Penulis: Abyan Nabilio Foto: George Mundor