Bicaramusik.id – Orang-orang yang merasa bosan dengan musik hari ini sebaiknya mendengarkan Khruangbin. Mereka punya yang kalian butuhkan untuk mengubah arah permainan. Melodi Thai yang seksi. Gitar surf Kalifornia. Pop Persia. Suara antik pita kaset tahun 70-an. Pinggul ramping Balearic. R&B – soul – funk – gospel buatan negro-negro Stax. Dan setengah linting dub sintetik.
Semuanya diramu, dilahirkan kembali melalui sejumlah nomor instrumental yang merebah dahaga. Dan dengan sederet petunjuk yang disebutkan tadi di atas tidak lantas membuat musik mereka sulit dicerna, sebaliknya, bahkan jika kalian miskin referensi atau sama sekali tak punya ide tentang siapa itu Nusrat Fateh Ali Khan dan Sinn Sisamouth – lagu-lagu milik Khruangbin mampu membasuh naluri pendek seorang fans musik yang paling pasaran sekalipun menjadi lebih terhormat; selama dia mau mendengar, Khruangbin mudah dinikmati hanya dalam hitungan sekali pejam. Mudah sekali merasuki jiwa dan pikiran alam bawah sadar kita. Terasa halu kalo kata anak milenial.
Sekitar satu dekade lalu Mark Speer, sang gitaris, pertama kali bertemu drumer Donald ‘DJ’ Johnson di kota Houston, Texas, AS. Setiap hari Minggu keduanya punya tugas yang sama, melakukan pelayanan ibadah dengan memainkan berbagai tembang gospel-jazz di hadapan 3000 jemaat yang berkumpul di sebuah gereja berbentuk goa. Kemudian basis Laura Lee bergabung. Dia sedang kuliah sejarah seni Timur Tengah ketika menemukan Speer sedang duduk di sofa ruang keluarga apartemen gitaris tersebut menonton
Breaking the Silence, film tentang musik Afghanistan.
Lee yang saat itu tengah mengencani teman sekamar Speer memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya, bergetar dan malu-malu. “Sejujurnya aku merasa aneh duduk di sebelah pria yang belum kukenal,” kata Lee. Dia tertawa. “Tapi,” lanjut Lee lagi, “Speer berhasil membuatku merasa nyaman. Kami langsung akrab dan berbincang sepanjang malam tentang musik Timur. Tidak lama aku mencarinya di Myspace dan memberikan nomor teleponku.” Seminggu berselang sebuah pesan singkat tak bertuan muncul di layar ponselnya, berbunyi: “
The universe smile upon you.” Lee segera tahu itu dari Speer.
Sejak awal akar melodi Khruangbin melekat pada ketertarikan Speer dan Lee terhadap musik-musik terpendam negara dunia ketiga. Sementara DJ adalah seorang produser hip-hop untuk para rapper lokal Houston, seperti Beanz N Kornbread, Slim Thug, Paul Wall, dan Chamillionaire. Setiap hari Selasa selama tiga tahun penuh ketiganya selalu nongol di sebuah pub bernama Rudyard’s, mereka nongkrong, makan burger dan melempar dart. “Di sana juga waktu dihabiskan berjam-jam membicarakan musik-musik yang kami suka,” sebut Lee. Salah satunya funk Thailand dari era 60-an/70-an, “di antaranya Yodrak Salakchai dan The Impossible,” aku Speer. Dia menemukan mereka saat berlibur ke Bangkok, Cha-am dan Chiang Mai. Bersama Lee, tentu saja, sebagai teman perjalanan.
“Awalnya kami menjuluki musik Thai sebagai ‘
noodle house music’. Tapi setelah aku dan Mark mulai rajin membeli kaset-kasetnya dan serius menyetel lagu-lagunya, rasanya seperti . . . kami sadar musik ini berasal dari dunia yang benar-benar asing, tapi entah kenapa bisa kedengaran begitu akrab; petikan bas yang sangat funky, gitar fuzzy wah, bebunyian terompet, dan karena dialek bahasa di kebanyakan wilayah Asia Timur bernada tonal, kosakata merekapun otomatis membentuk melodi,” jelas Lee.
Pada waktu yang berkala, ketika itu Speer juga telah bertualang cukup jauh, menggali jutaan lagu soul & funk langka yang tak terhitung dari negeri Timur Tengah. “Termasuk Turki, Israel, Iran, Mesir, berlanjut ke Barat, Afrika Utara, Mediterania dan Spanyol,” kata Speer. Kemudian karena tekun mengeksplorasi musik-musik tersebut – bahkan sampai masuk ke taraf obsesi kronis – Speer jadi sadar mengenai satu hal: bahwa nada-nada eksotis yang mereka hasilkan sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kental musik Barat. Singkatnya, rock & roll diserap oleh para pemusik lokal yang mengadonnya tradisional hingga melahirkan sebuah identitas baru.
“Misalnya The Shadows,” ujarnya Speer, “mereka adalah grup paling terkenal di UK sebelum The Beatles muncul. Mereka menulis lagu-lagu surf instrumental yang sukses berat. Digelarnya tur dunia The Shadows selanjutnya dianggap bertanggung jawab atas terbentuknya kancah musik Asia Timur, contohnya di Thailand. The Shadows berhasil menancapkan pengaruh musik mereka dengan begitu dalam sehingga melahirkan sebuah genre domestik: ‘Shadow Music’. Dan Shadow music itulah bentuk terdahulu dari apa yang kita kenal di Barat sini dengan ‘Thai-funk’.”
“Jadi kapan pun kami membutuhkan beberapa inspirasi, kami selalu kembali ke kaset-kaset Thai tersebut,” ujar Lee.
Segera sepulangnya dari Asia Tenggara Speer dan Lee segera menghubungi DJ kemudian memintanya untuk merapat ke sebuah gudang tua di daerah Burton sebelah timur Texas yang terpencil. Di mana mereka bisa main musik sebebas-bebasnya dengan pintu yang terbuka dan sekawanan sapi melenguh di peternakan seberang jalan. “Tidak ada wifi di sana,” kata Speer. Semua lagu awal Khruangbin – terutama yang masuk ke debut
The Universe Smiles Upon You (2015) diciptakan di gudang itu. Musiknya terbangun dari ketenangan yang tidak pernah didengar oleh band manapun, amalgasi setiap referensi yang dimiliki setiap personel; Lee dengan psikedelik tua, Speer dengan harta karun dunia ketiga, dan DJ dengan soul-hip-hop.
Lee menegaskan, terdengar seperti band lain tidak pernah menjadi bagian dari rencana Khruangbin sejak awal meski Speer sempat membocorkan rahasia dapurnya, bahwa kinerja menulis lagu mereka hampir mirip dengan aktivitas disjoki, yaitu memotong bagian per bagian lagu orang lain untuk kemudian disatukan membentuk sebuah lagu yang baru. Hasilnya adalah psikedelia, bukan sebagai genre namun sesuatu yang mampu memindahkan pikiran ke tempat lain, musik transportif.
“Jadi kalau kalian hanya menyederhanakan musik kami sebagai Thai-funk, itu cukup menghina para pemusik yang benar-benar memainkan genre tersebut,” tunjuk Speer. “Kami mengawinkan semua pengaruh yang kami suka ke dalam musik. Jika tidak seperti itu, kami akan cepat bosan,” katanya lagi.
Di Empirica, Jakarta Selatan kemarin – 18 Maret 2019, 9 tahun setelah resmi terbentuk, trio Khruangbin berhasil mengularkan antrean dari pintu masuk sampai kira-kira 300 meter ke area belakang parkir kendaraan. Antusiasme membludak. Khruangbin datang di saat yang tepat ketika mereka tengah menuai pembicaraan di kalangan (sial!) indie lewat musiknya yang unik, relaks . . . mungkin sedikit melankolis, sedikit bergaung, seperti sodoran mimpi berselancar pada petang Tiamat.
Pihak Vice X Lokatara Live yang mengorganisir konser ini memplot Ramayana Soul sebagai pembuka. Band itu tampil sangat baik, dan kelihatannya telah berpisah dengan penyanyi Ivon Destian. Angga Ishanders, kibordis – pemain sitar – penulis semua lagu – sepenuhnya mengambil alih departemen vokal. Perubahan langsung terasa, tidak ada lagi dayu mendayu cengkok sinden, plus penambahan instrumen jembe membuat raga rock yang dimelayukan Ramayana Soul jadi lebih solid dan tepat sasaran. Ishanders bebas mengeksplorasi kesintingannya dengan bergentayangan di panggung persis tengkorak basian morfin, tulang-kulitnya melompat hiperaktif, seorang bohemian yang ringkih, bertelanjang kaki kerasukan batu mawar kertas timah.
Berapa banyak kiranya dari sekitar 700 manusia yang memadati Empirica malam itu yang serius menggemari Khruangbin? Dalam arti mereka yang benar-benar tahu dan mendengarkan, bukan cuma kecipratan bola zakar. Menurut perhitungan snobisme, jumlahnya mungkin berkisar 30 persen saja, sedikit lebih banyak dari persentase vokal di mayoritas lagu-lagu Khruangbin yang mengalun sunyi tanpa bicara (baca: nyanyi). Tapi seberapa besar lagi kita punya kesempatan untuk bisa menggali musik secara lebih dalam sekarang, ketika jutaan lagu dapat diakses dengan begitu mudahnya, ditawarkan murah bak kacang goreng di tengah sumur dangkal bernama teknologi. Ironi, memang. Kegampangan dunia malah memalaskan kita, sisi negatif generasi terima jadi: malas keluar rumah tinggal pesan daring, serahkan semua pada kecerdasan buatan, terdidik untuk bermimpi dan dibeli.
“Bisnis musik hari ini adalah praktik kejam dari parit cetek yang digenangi timbunan uang. Dunia plastik di mana para maling dan para penjilat pantat bebas berkeliaran meninggalkan bangkai. Ini industri tempat para manusia jujur akan mati seperti anjing tua,” curi satu pepatah palsu.
Tapi lupakan. Musik Khruangbin bukan diciptakan untuk dipikirkan, melainkan untuk berdamai. “Musik kami mengisi kekosongan di antara band-band rock yang selalu berusaha bermain lebih pekak dan lebih keras. Bukan itu tujuan kami. Aku hanya ingin menulis lagu-lagu yang dapat membuat orang merasa tenang,” kata Speer. Sehingga sewaktu Khruangbin akhirnya mengambil alih Empirica, semua orang yang berada di sana, apapun statusnya – fans berat, fans sekilas-sekilas, fans ikut-ikutan, baru mulai jadi fans atau bukan fans sekali pun, tidak sulit untuk menyatukan diri.
Beberapa repertoar Khruangbin malam itu yang layak diberi lampu sorot adalah “Rules” dari album terbaru mereka,
Con Todo El Mundo, yang rilis tahun 2018 silam dimainkan; merupakan penggabungan antara melodi gitar Persia dan kolosalnya karya-karya komposer Ennio Morricone. Ada juga aksi spontan mengambil dua botol anggur merah Orang Tua untuk digunakan sebagai instrumen perkusi. Termasuk sederet gubah ulang lagu-lagu orang yang di-
medley-kan, termasuk penghormatan kepada dewa gitar surf Dick Dale yang wafat beberapa hari sebelumnya, nomor kebangsaan “Misirlou” dari tahun 1963 ditembangkan.
Kemudian “Como Me Quieres” yang ditulis oleh DJ sekaligus membuktikan kalau trio tersebut membagi proses kreatif secara berimbang. Juga “Maria Tambien” yang menunjukkan obsesi mereka terhadap musik Timur, kali ini dari jaman pra revolusi Iran. Dan “Evan Finds The Third Room”; terinspirasi dari penggalian Speer pada musik zouk Karibia. Melihat pengaruh yang melintasi dunia membuat klasifikasi genre menjadi tidak begitu penting bagi Khruangbin. Yang terpenting adalah . . . (silakan jawab sendiri, dengan seenak dan senyamannya).
Penulis : Rio Tantomo
Editor : Antie Mauliawati
Dokumentasi : Lokatara Live