Bicaramusik.id – Titik muntah ada sembilan, setidaknya. Puluhan botol kaca bertebaran di rerumputan,
paving block, atau di mana pun mereka bisa bertengger. Puntung rokok? Jangan ditanya.
Ampli-
ampli kecil dari kontrakan anak-anak yang disambung konektor bertugas jadi monitor dan sistem PA sekaligus. Ketiadaan
mixer dan mikrofon drum bukan masalah, apa lagi tata cahaya. Panggung bisa berada di mana saja, lahan terbuka jika tidak hujan, gang-gang sempit di sela gedung kampus jika sebaliknya. Dengan semangat demokrasi (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat), penonton adalah penampil, penampil adalah penonton, dan penonton dan penampil adalah penyelenggara, menjadikan hanya ada satu lingkaran dalam Diagram Venn dalam semesta “
barudak”. Dengan begitu, penampil pun sudah cukup puas dibayar dengan tampil, pesta, dan giliran gelas-gelas plastik berisi cairan penuh dosa. Begitu mungkin stereotipe acara independen atau kolektif yang tertanam di benak. Tapi itu bukan Liga Musik Nasional (Limunas).
Serial acara independen yang sudah berjalan lebih dari delapan tahun ini memasuki gelaran ke-15-nya pada Minggu (1/12) dan masih belum gagal menjadi teladan bagi spesiesnya. The Flowers, FSTVLST, dan The Panturas ditunjuk sebagai sumber tenaga bagi “orang-orang di kerumunan”
mosh pit yang tentunya “berbagi cinta, berbagi bahagia” dengan cara seliar mungkin tapi tetap “saling jaga seperti keluarga” dan tidak lupa bahwasanya “mereka sama, hanya manusia”. Ketiganya berhasil memandu penonton Limunas XV menjadi kerumunan yang itu.
Beberapa indikator di paragraf pertama terbukti di Limunas, beberapa lainnya tidak, dan beberapa lagi terbukti dengan cara berbeda. Titik muntah, nihil. Puntung rokok jarang ditemukan karena memang ada larangan merokok di dalam ruangan pagelaran (sampai om-om The Flowers akhirnya memberi teladan yang membuat aturan ini percuma untuk bocah-bocah di hadapan mereka). Lokasi dan tata panggung tentu mumpuni. Auditorium IFI Bandung bukan
venue main-main untuk acara sekelas ini. Botol kaca ada lah, tapi tidak terlihat (lagi-lagi om-om nakal asal Jakarta jadi penyumbang terbesar). Sisi demokrasi tetap terasa biarpun tidak ada yang kerja serabutan. Penampil tetap menjadi penampil. Penyelenggara tetap menjadi penyelenggara. Keduanya tetap bisa menemani penonton yang memang hanya datang sebagai penikmat.
The Flowers, FSTVLST, dan The Panturas, sebagai tamu, dijamu dengan cara yang sangat layak, tidak kalah dari perlakuan acara-acara profesional bersponsor besar ke pada bintang tamu. Mereka disuguhi dua onggok tumpeng bersama lauk-lauk rumahan yang membuat suasana kekeluargaan di
backstage begitu kentara, tak peduli dari daerah atau generasi mana ketiganya berasal. Selain itu, tentunya, mereka dibayar, walaupun mungkin di bawah
rate-nya masing-masing. Sejatinya, bayaran bukan prioritas bagi band yang berasal dari kolektif ke kolektif jika dibandingkan dengan gengsi dan keseruan bermain di Limunas yang melegenda ini.
Seperti biasa, acara yang digagas Doddy Hamson dari Komunal, Feransis alias Tuhanzilla, Boit, dan Trie dari Omunium ini tak punya penyokong dana yang besar, maklum acara kolektif. Lalu, dari mana dana untuk bayar band dan Auditorium IFI (yang selalu jadi pilihan pertama kolektif dan band untuk bikin
showcase, namun urung karena biaya sewanya lumayan) datang? Yang penonton bayar (uang melalui pembelian tiket atau
merch) adalah yang mereka nikmati sepanjang acara, tak ada tempelan produk apa pun sejauh mata memandang.
“Tiga hal sih yang buat Limunas bisa sampai sekarang, ya itu tadi. Teman-teman yang kerja, teman-teman pembeli tiket dan teman band yang akan diundang. Di Limunas yang kerja dan dibayar hanya sedikit sekali mungkin hitungannya itu band,
artworker, dan beberapa lainnya yang memang mengharuskan untuk dibayar. Sisanya malah urunan tenaga. Lalu teman-teman pembeli tiket yang percaya pada apa yang kami buat. Sponsor utama ya teman-teman ini yang beli tiket dan
merch,” jelas Boit kepada
Siasat Partikelir beberapa edisi Limunas lalu
.
Mari kita beranjak ke penampilan tiap penampil Limunas XV.
The Panturas
Mereka adalah yang termuda dan mereka ditunjuk sebagai pembuka. Sedikit
ageist (
racist, classist, paham?) memang Limunas XV ini jika memang istilah itu bisa digunakan. Tapi karena memang budaya ketimuran kita memang mengajarkan untuk menghormati yang lebih tua, maka ini dapat diwajarkan bahkan malah menjadi nilai tambah.
Unit selancar kontemporer yang tidak begitu selancar-selancar amat ini membuka set dengan “Angkat Jangkar” disusul “Tenggelamkan” dilanj.... ah Anda mungkin sudah hafal bahkan muak dengan
songlist mereka yang itu-itu saja tiap akhir pekan mereka manggung. Karena The Panturas terlalu banal di kalangan muda-mudi yang sungguh masa kini sekali (bisa terbukti dari komentar “aku lebih Mentawais dari kamu yang terlalu Panturas” dari kalangan yang lebih puritan) untuk acara se-
cult Limunas, penampilan mereka bisa kita abaikan.
FSTVLST
Ini sebenarnya yang ditunggu-tunggu. Setelah 15 tahun perjalanan bermusik FSTVLST, baru kali ini mereka menjajal panggung Kota Kembang, di gelaran Limunas ke-15 pula. Bagi penggemar mereka di Bandung, ini mungkin seperti datangnya klimaks setelah berbagai desahan dan adegan mengundang. Sepertinya memang gelaran ini untuk mereka.
Seluruh ruangan dipenuhi asap dibalut cahaya merah hingga panggun tak terlihat. Mengutip Boit di “Catatan Kecil”-nya melalui buku harian dalam jaringan,
boit.kulturklab.com, pembukaan set ini terinspirasi dari penampilan NIN di Bangkok yang ditontonnya dan Trie.
Farid Stevy masuk panggung diiringi punggawa FSTVLST lainnya. Ia membaca sebuah buku catatan seperti seorang penyair sembari mengajak penonton untuk bersenandung mengikuti isian alat musik tiup di “Hal-Hal yang Terjadi”. Di sekitar akhir lagu, ia menanyakan pada penonton apakah ada yang membawa telepon genggam. Setelah mendapat pinjaman, ia membuka unggahan Instagram Boit dan menjadikan keterangannya sebagai bagian dari sajak.
“Tentang gemasnya gue, aku, kata ganti (orang pertama) malam ini adalah aku, karena pengalaman kemaren di Limunas XIV yang pilihan bandnya dipertanyakan tapi tiketnya
sold out. Sementara Limunas XV kali ini penjualan tiket masih merayap, padahal bandnya kalau mau dibilang Limunas banget ya Limunas banget,” baca Farid sambil menyelipkan “Zona Nyaman”-nya Fourtwnty di antara sajak. Lalu nada bicaranya makin naik saat membacakan, “Harga tiketnya acara macam ini enggak bisa rendah karena memang pertaruhannya banyak dan tidak punya ‘
beking’ sponsor besar.”
Boit, di FOH, terlihat mengeluarkan umpatan-umpatan haru sekaligus senang. Entah “brengsek” atau “bangsat” atau semacamnya yang ia teriakkan saat itu.
https://www.youtube.com/watch?v=-Cxln-mmS9M
Improvisasi yang tidak mengejutkan tapi tetap mengagumkan dari grup yang memang mengedepankan paduan musik dan seni pertunjukkan di tiap panggung mereka. Mereka pula lah yang paling optimal menggunakan tata cahaya.
“Hujan Mata Pisau” selanjutnya mengawali set berisi lagu-lagu dari
Hits Kitch dan beberapa potongan
II termasuk “Vegas”. Penonton menonjokan kepalan tangan ke atas, bernyanyi,
crowd surf, dan melakukan apa saja yang bisa mereka lakukan untuk menikmati penampilan FSTVLST. Sebelumnya, telah dibahas bahwa setiap jajaran Limunas bisa menjadi penikmat dan ini terbukti saat Boit ikut melompat ke arah penonton di tengah-tengah set.
Saat intro “Mati Muda” dimainkan, semua mikrofon di panggung di arahkan ke penonton. Penonton dibiarkan mendominasi vokal sembari Farid sesekali mengisi bagian-bagian kunci. Farid yang tadinya mengenakan jaket kulit menanggalkan satu-satu atasannya, termasuk kostum basket Serigala Malam, memamerkan tato punggungnya, dan akhirnya lompat menuju penonton. Lompatannya ditangkap sempurna oleh penonton.
Stage dive-nya benar-benar definisi
stage dive di film-film band-bandan (kecuali Jack Black di awal
School of Rock) karena transisinya dengan
crowd surf lanjutan benar-benar halus.
Penampilan ditutup dengan diputarnya “Menantang Rasi Bintang”. FSTVLST bercengkerama dengan penggemarnya di atas maupun di bawah panggung.
The Flowers
The Flowers menjadi penampil pertama yang ditunjuk oleh dewan Limunas. The Panturas ditunjuk karena sama-sama menyenangkan dan FSTVLST karena umurnya di tengah-tengah.
Dengan begitu, mereka lah yang paling tua tapi paling banyak bikin onar. Di waktu
sound check saja mereka sudah menghabiskan beberapa botol arcil (arak kecil). “Habis ini ke hotel,” ujar sang gitaris Boris. “Biar tidurnya enak.”
Sementara teman-temannya mengaso nakal di belakang panggung, sang
bassist, Vian, terkapar di bangku depan IFI. “Dada gue sakit,” katanya.
The Flowers memang mengalami beberapa kendala di panggung ini. Selain masalah Vian, beberapa orang di tim produksi mereka berhalangan hadir. Bentrok, sakit, cuti melahirkan, diculik, dan berbagai hal menjadi alasan. Mereka pun terpaksa meminjam
crew gitar The Panturas, Ali (Olegun Gobs, Aligun, Align), untuk membantu. “Untung ada Ali,” ujar sang manajer yang terpaksa merangkap menjadi
roadman, Rio.
Masalah tadi tidak begitu mengganggu penampilan mereka. Sebelum set, klip video baru untuk “Roda Roda Gila” diputar perdana di luar ruangan pagelaran. “Plastik hitam” khas “Rajawali” muncul di sana.
Njet dan kawan-kawan memulai set dengan “Tong Sampah” dan “Boncos”. Tingkat ke-
rock n roll-an om-om Ibu Kota ini memang sudah mendarah daging. Njet bisa diakui sebagai yang paling bisa bernyanyi di antara setiap penampil malam itu. Tampilan dan suara khas Jaggernya membuat kita lupa bahwa band ini seumuran dengan orang tua kita. Maaf maaf, dengan rentang suara seperti itu mungkin vokalnya melebihi Jagger.
Set mereka dipenuhi lagu-lagu lama ditambah beberapa nomor dari yang terbaru,
Roda-Roda Gila, termasuk nomor judul dan “Tuhan Ikut Bernyanyi”. Boris dan Eugen (saksofon) bergantian berimprovisasi di atas panggung. Di bagian-bagian kosong ini, Njet tak terlihat mati gaya. Dado (yang mungkin lebih dikenal sebagai manajer Jason Ranti) terlihat begitu gemas di jok drum, seperti Moggle dari
Final Fantasy. Jari-jari Vian tetap lincah biarpun harus bermain sambil duduk dan mengisap tabung oksigen kecil di sela-sela lagu. Hampir semua personel bergiliran memutar botol arcil (karena sulit mungkin mencari Rajawali di Bandung). Sedikit fakta, Vian tetap minum biarpun sesak nafas karena asma. Se-
rock n roll apapun Anda, silakan beri hormat pada om-om ini.
Energi yang ditimbulkan “Tolong Bu Dokter” dan “Rajawali” mungkin terlalu brutal sehingga Vian harus meninggalkan kursinya. Dengan mata
beler-nya ia berdiri meskipun hanya bergerak seperlunya, sesanggupnya mungkin lebih tepat. Penonton yang makin depan makin terlihat berumur (ada Doddy di sana) semakin menggila sementara Njet tetap
cool biarpun sudah panas dan sempat salah lirik.
Penampilan mereka (seharusnya) ditutup dengan “Enggak Ada Matinya”. Doddy diajak naik ke atas panggung. “Minggu malam,” teriaknya dengan suara khas Komunal (yang ternyata memang begitu suaranya sehari-hari) mengetes lagu tersebut. Ia pun kompak bergantian mengisi vokal bersama Njet. Penonton makin-makin dan memaksa mereka untuk lanjut. “Belum 17” pun ditunjuk menjadi penutup sebenarnya.
Sayangnya,
venue sudah sedikit sepi saat itu. Dari proses pemilihan band, Limunas XV seharusnya menjadi semacam
showcase untuk The Flowers. “Mari bikin orang Bandung cinta The Flowers lagi,” ujar Njet di tengah penampilan. Tujuan ini mungkin akan lebih tercapai jika FSTVLST diletakkan di akhir acara untuk menahan penonton pulang. Biarpun begitu, Limunas XV adalah acara yang menyenangkan untuk semua. “Liga Musik Nasional, Akulah Pendukungmu”.
Penulis: Abyan Nabilio
Editor: Antie Mauliawati
Dokumentasi: Reza Zulmi