Bicaramusik.id

Banner 728 X 90
Konser DeWolff, Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga
  • By : Bicara Musik
  • 2019-03-28

Konser DeWolff, Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga

Bicaramusik.id – Dan pada Sabtu di awal Maret itu saya sudah beredar di Erasmus Huis sejak petang. Di lokasi, belum tuntas sebatang rokok, Ibu Suni telah menyambut dan selanjutnya menaruh saya ke dalam orbit meja di mana sedang berkumpul enam rocker antar bangsa yang baru saja menyelesaikan sesi uji coba suara. Perbincangan mereka terpotong ketika saya bergabung. Enam tangan disodorkan secara bergantian, saya menyalami: dua saudara kandung Pablo & Luka van de Poel dan Robin Piso dari trio psychedelic-rock DeWolff, serta tiga musisi berkaos hitam, Philliep – Damar – Zack, yang menghuni sebuah band asal Jakarta bernama Khayalan. Merekalah para penghibur malam ini. Situasi canggung yang awalnya berkembang kemudian mencair setelah Luka berinisiatif menawari sekaleng Bintang. “Maaf, birnya sudah tidak begitu dingin,” kata dia dalam Inggris. “Terima kasih, tapi aku sedang berhenti minum. Apa tempat itu menyediakan espresso?” Inggris saya membalas sembari menunjuk ke sebuah kantin makanan organik di belakang kami. “Sepertinya iya,” menyahut Pablo, gitaris Dewolff yang berusia 3 tahun lebih muda dari Luka, pemain drum mereka. Yah – paling tidak gagasan tersebut diharapkan dapat memantik obrolan di atas meja ini menjadi lebih menyenangkan, karena sejujurnya saya mudah bosan bercengkerama dengan musisi-musisi rock yang terlalu berhati-hati. Mereka harus ingat satu hal, terkadang musik hebat bukan saja tentang lagu-lagu yang keren, melainkan juga cerminan sikap dan perilaku yang mendobrak kekangan. Kejadian berikutnya di meja itu pun membawa ingatan melayang ke suatu hari di beberapa tahun silam ketika jejak maling membawa saya berkenalan dengan seorang ustadz, kerabat spiritual yang masa mudanya dihabiskan untuk mencuri uang di kotak infaq masjid sebelum memergoki istrinya berselingkuh, hingga akhirnya menemukan penebusan di balik syair puja puji religi. Saya sedang mengincar sepasang kulit Birkenstock di pelataran sebuah arena salat Jumat baru saja ingin sewaktu wujudnya timbul. Dia menegurkan salam, saya menjawabnya gugup. Karena merasa telah ketahuan, lutut saya tiba-tiba melunglai. Ketakutan yang luar biasa menjalar tak tertahankan. Sekuat tenaga saya berusaha untuk bertingkah normal. Tapi bukannya membentak dan menuduh, sang ustadz malah menghadiahi gerak gerik seekor tikus pencoleng sebuah nasihat panjang yang benderang. Saya terpaksa mendengarkannya demi menghindari kasus tertangkap tangan. “Jangan pernah menyerahkan diri pada harapan, Nak. Bekerja keraslah, cuma itu yang bisa membuat kau selalu percaya pada hidup ini. Tuhan tidak menyukai orang-orang yang terlalu menuhankan Ketuhanan-Nya,” dia berhenti sebentar sebelum menusuk saya kembali dengan kalimat selanjutnya. “Harapan adalah tali semu yang menjerumuskan, terutama ketika doa-doamu belum juga mendapat kesempatan. Dan nafsu kebencianmu mulai mengutuki kesabaranmu sendiri. Camkan bahwa iblis bertengger di setiap doa yang terpanjat. Mereka siap dan akan selalu siap memakan jiwa umat manusia.” Saya sudah lupa kapan terakhir kali pernah berbincang lagi dengannya ketika perasaan menyesal ‘masih saja berharap’ itu menyergap. Seraut wajah penuh dosa tersentak di hadapan dua band psikedelia yang sedang mencoba berkelit. Aleluya, terpujilah Gusti Allah, pikir saya menyembunyikan. Entah mereka mengelak atau memang lugu. Saya memilih opsi yang pertama demi menjaga prasangka baik: band psikedelia yang belum pernah mencoba LSD seumur hidupnya adalah band omong kosong. Tidak layak dipercaya. Ibarat dongeng siang bolong, si penulis dongeng hanya menyangkok apa yang ditulisnya – bahkan jika dia mampu menuturkannya dengan baik, jiwanya tetap karbitan. Dan ketika saya mengatakannya kepada enam lawan bicara saya tentang hal itu, mereka memberi versi responsnya masing-masing. Luka yang pertama. “Buatku pribadi psikedelia adalah murni sebuah genre musik. Aku tidak mengonsumsi narkotika dan tidak mengalami apa yang generasi 1970-an lakukan ketika mereka membuat musik. Kami mungkin telah menulis lagu-lagu psikadelia dan merilis album-album psikedelia, tapi kami tidak pernah menggunakan obat-obatan psikedelia. Aku pikir kami tidak membutuhkannya.” “Jadi kalian bersih?” “Ya tentu saja,” sahut Luka. Saya menggelengkan kepala. Semuanya sudah jelas kini: kenapa saya – yang sebelum berangkat menyempatkan diri mendengarkan Thrust, album terbaru Dewolff di tahun 2018 – tidak terlalu berselera dengan musik mereka. Dibanding The White Stripes, misalnya, 20 tahun silam. Atau dari masa yang setara, La Hell Gang asal Chile. Bahkan putra Jawa Barat, The SIGIT. Dewolff memiliki cengkok country-blues yang lebih Amerika daripada Greta Van Fleet, bocah-bocah Michigan yang malah mati-matian mengopi Led Zepellin. Belum lama ini terbitan terbaru keduanya sama-sama dinobatkan sebagai Best Rock Album di negaranya masing-masing; Edinson Awards, Brit Awards-nya rakyat Belanda untuk DeWolff, sedangkan Van Fleet mendapat Grammy, Nobel-nya kancah musik. Kemudian muncul Pri Ario Damar. Satu-satunya genetik murni Nusantara, selain saya, yang bertengger di sana. Di belakang namanya tercantum M.Sn – gelar bagi seorang doktor seni – Ketua Program Studi Musik Institut Kesenian Jakarta. Hidungnya ditindik dan terpatri simbol kudus John Paul Jones pada lengan kanannya: tiga vesica pisces yang mengiris sebuah lingkaran penuh lambang kepercayaan diri dan kenyang pengalaman. “For me,” sebutnya dalam Inggris, “psychedelic is more like . . . uhmm . . . a philosophy of life. Because lots of psychedelic songs, actually, contains deeper philosophy than a deeper meanings of philosophy.” “I don’t get your words. What philosophy? The edge of warriors one, like Hawkwind said?” cetus saya ikut-ikutan Inggris. “The way you act . . .” jawaban Damar tersendat. “How? When?”Like you have to be positive, or loving.” Phillipe datang menimpali di belakang. “Buatku (psikedelia adalah) Timothy Leary.” “‘Turn on, tune in, drop out,’” timpa saya. “Yeah, Timothy Leary adalah seorang guru besar LSD,” jelas Phillipe. “Dia mengajarkan kita untuk terus membuka pikiran dan bertanya, ‘ada apa di dunia sebelah sana?’.” “Anda masih sering melakukannya sekarang?” “No, i don’t do it anymore. I give up.” Phillipe sudah tinggal di Jakarta selama 8 tahun terakhir. Dia tumbuh dalam lingkungan hippie ayahnya (beliau pernah mengencani Janis Joplin dan nongkrong dengan CSNY dan Tina Turner di tahun 1968) di Paris, Prancis. Pada usia dewasa Phillipe pergi mengelilingi Eropa, hidup bohemian sembari mencurahkan gairah terhadap musik elektronik, menjadi DJ dan berpesta gila-gilaan. Phillipe bertemu Damar dari lingkungan IKJ. Mereka dipersatukan oleh keinginan kontemporer menyatukan musik Barat dengan budaya tradisional. “We can say Khayalan is a cross cultural project,” kata Phillipe. Lalu bergabunglah Zack Sael, gitaris Italia yang kemudian membulatkan warna industrial rock di antara bebunyian diatonis kendang, gamelan dan angklung Sunda, yang dimainkan Master Project, pimpinan Damar sendiri. Bagi Phillipe, Khayalan merangkum perjalanan musikalnya sedari awal. “Proyek ini kombinasi cerita hidupku. Dari menjadi DJ hardcore-techno, juga classic rock yang diperkenalkan ayahku, lalu hip hop yang membesarkanku ketika aku sempat tinggal beberapa saat di wilayah suburban ghetto.” Dua minggu setelah pertemuan ini Phillipe resmi ditunjuk menjadi penyanyi Getah, veteran goth lokal Jakarta. “Buatku ‘khayalan’ adalah kata yang paling tepat untuk melukiskan makna psikedelia yang sebenarnya. ‘Khayalan’ berarti ‘imagination’ dalam bahasa Inggris,” lempar saya ke anak-anak DeWolff. “That’s cool,” cetus Pablo. “Aku rasa itulah kunci dari semua ide tentang psikadelia. Untuk menjalaninya dan memiliki kehidupan yang baik kita memerlukan imajinasi, termasuk juga untuk memahami orang-orang lain, memahami budaya-budaya yang lain. Lalu kemudian menerjemahkan hal-hal baik yang kita temui tadi menjadi sebuah musik . . . menyatukan cinta dan emosi, baru setelahnya kita bisa menemukan kebahagiaan yang sejati.” Psikedelia ada guna mempertanyakan kembali batas-batas dalam diri kita. Setiap sisi yang berdiri terpisah di antara camuk persepsi. Seberapa kuat kita mampu menanganinya, tergantung dari seberapa berani kita menggali dan menyeberangi ketakutan kita sendiri. Apapun yang kita pahami – psikedelia merupakan ceruk abstrak yang terdampar di dalam kepala. Muntahlah di depan pintu surga. Sebagai musisi, psikedelia bisa dijadikan sarana untuk kabur sejenak dari kehidupan nyata. Sementara narkotika hanyalah satu dari beragam jalan pintasnya. Zack Sael menjelaskan, “Aku membangun realitaku sendiri. Dengan musik aku dapat berkomunikasi melalui sebuah simbol. Seperti proyek lintas kultural ini, kami mencoba menerobos batasan budaya yang ada.” *** Resensi konser: Khayalan berkolaborasi dengan Master Project, menampilkan kearifan lokal yang mengawinkan industrial rock dan musik tradisi Sunda. Sekitar empat lagu yang dimainkan memperlihatkan usaha-usaha yang patut dihargai meskipun porsi yang diberikan kepada kendang, angklung dan gamelan untuk menjadi bagian dari lagu tidak berimbang, membuat komposisi-komposisi yang tersaji akhirnya terdengar sumbang. Atau mungkin industrial rock memang tidak cocok disatukan dengan musik Sunda? Biar tingkat akademisi tinggi Damar yang menjawabnya. (Dulu Harry Roesli dan Guruh Soekarno Putra melakukannya dengan oplosan rock progresif). Yang jelas darah Kebaratan milik Damar, Phillipe dan Zack masih terlalu kental untuk sebuah proyek dengan misi mulia menyetarakan budaya tradisi kita dengan rock Barat. Masih jauh untuk dianggap world music, bila itu maksud mereka. Sedangkan Dewolff tampil sangat eksplosif. Mereka main dengan gaya 70-an mentok; Zeppelin, Allman Brothers, Uriah Heep, Deep Purple dan tangan kiri Ray Manzarek menari di tuts synth yang menggantikan fungsi gitar bas. Lupakan pemakaian LSD karena ternyata mereka tetap berhasil menghipnotis rasa bosan yang sempat hinggap di tengah konser lewat rock & roll yang terlalu kelewat polos untuk bisa disebut psikedelia. Tapi setidaknya Dewolff lebih orisinal dibanding Greta Van Fleet menurut sebuah teori komparasi gembel yang melibatkan intuisi subjektif dan ego generasi dalam penuturannya. Semua kejadian di pertunjukan itu masih baik-baik saja sampai akhirnya tiba sesi kolaborasi. Pemilihan “Dazed and Confused” tidaklah buruk, meski sebenarnya basi – maksudnya, ke mana perginya itu kendang, angklung dan gamelan? Bukankah mereka ingin mengangkat harkat martabat budaya tradisional, lalu kenapa tidak biarkan saja DeWolff merasakan hebatnya sensasi bermain dengan instrumen-instrumen asing? Dan ketika “Bento” dibawakan sebagai lagu penutup, selesai sudah, saya memilih cabut dari ruangan itu, yang tiba-tiba terasa sama memuakkannya dengan suasana sebuah konser kampanye partai politik. Damar seharusnya bisa menyarankan lagu yang lebih baik dibandingkan itu. Di tangga menuju pintu keluar sayup-sayup terdengar riff  “Enter Sandman” dimainkan medley, sialan, tidak ada yang bisa saya lakukan terhadap itu selain tertawa mengutuki sifat pragmatis seorang seniman dan merokok kereta hingga pesanan ojek untuk pulang dilayani. Penulis : Rio Tantomo Editor : Antie Mauliawati    
Banner 300x600

RELATED BERITA

RELATED BERITA