Bicaramusik.id - Iwan Hasan berusia 5 tahun ketika pertama kali menyentuh pelajaran piano klasik, dilanjutkan dengan gitar klasik saat beranjak 10, dua tahun sebelum dia mampu memainkan kort rock & roll pertamanya, “Carry On Westward Son” milik Kansas. Bakatnya sejak belia sudah terasah melalui harmoni rumit yang kemudian membentuk selera
virtuoso dalam ketertarikannya pada musik populer. Sampai akhirnya rock standar alias
mainstream tidak lagi menantang berahi artistiknya yang meningkat pesat, seiring pencarian impulsif terhadap tatanan musik yang lebih ekletik dan progresif. Hasan pun pergi ke Willamette University di Oregon, AS demi penggalian teori klasik, jazz dan kontemporer. Di sanalah ia menemukan gitar-harpa, instrumen yang mengukuhkan reputasi kesohornya.
Menurut pengakuan Hasan kepada Warta Jazz di tahun 2001 hanya tiga orang yang memiliki gitar harpa di dunia, selain dirinya, salah satunya lagi adalah John Doan, gurunya di Willamette yang mendesain sendiri versi gitar-harpa yang dimainkannya sekarang: berbeda dengan pemain gitar-harpa lainnya yang menggunakan 20 senar, milik Doan punya 21 senar dengan tambahan kunci E sebagai nada terendah. Penimbaan ilmunya di Amerika Serikat, berbuah penghargaan Outstanding Music Student Award, dan lulus dengan predikat mahasiswa terbaik di tahun 1991. Pulang ke Indonesia, Hasan melanjutkan petualangannya lewat pendirian grup prog bernama Discus.
Sekian sudah paragraf ‘wikipedia’ mengenai Iwan Hasan. Dari dulu, kesempatan untuk menyaksikannya tergolong langka, bagi yang awam mungkin hanya bisa didapatkan setahun sekali, itupun jika kalian cukup beruntung. Dan keberuntungan tersebut turun pada pekan kedua hari pertama (16/2) gelaran Jazz Buzz Salihara 2019 kemarin. Bersama barisan ansambel prog jazz-nya – vibrafon, bas, trio violis, selo, dram, sederet alat tiup trombon-klarinet-suling-saksofon, kendang & perkusi, biduan
scat – Hasan tampil sebagai konduktor cum gitaris membawakan interpretasi ulang konsep Third Stream, yaitu praktek saling sodomi antara musik klasik kontemporer Barat dengan jazz. Mendiang komponis Gunther Schuller yang pertama mengenalkannya pada tahun 1961, sekaligus menyodorkan aturan mainnya sebagai berikut:
- Bukan jazz dengan pasukan string
- Juga bukan jazz yang dimainkan dengan instrumen klasik
- Atau musik klasik yang dimainkan oleh sekumpulan musisi jazz, bukan.
- Bukan pula sekadar menyelipkan opus gubahan Ravel atau Schoenberg di antara koktil bebop – vice versa.
- Bukan jazz dalam bentuk fugal era renaissance – vice versa.
- Dan yang terpenting, konsep ini tidak diperuntukkan bagi musik jazz maupun klasik; tapi sebagai kreasi alternatif para musisi anti pakem yang lapar inovasi.
Dalam visi Iwan Hasan berarti avant-garde. Kekhataman akan progressive rock dengan elaborasi swing dan teori musik klasik konservasi opera. Simfoni matematis, ibarat Stravinsky berbagi atap dengan Zappa dan gerombolan Apocalytica. Tentu saja tanpa melupakan kearifan nusantaranya lewat getar Pasundan yang membangun ingatan pada Harry Roesli, orang gila pelaku Third Stream lainnya. Ini jenis musik elit, bukan konsumsi ringan kecuali kau menjadikan
200 Motels sebagai kudapan berondong jagung di tengah bentrok Red Sox vs Yankees. Itu analogi yang absurd, tapi Hasan menyederhanakannya kemudian.
“Saya berusaha membuat (musik) avant-garde yang bisa dinikmati semua orang.”
Apapun itu, selama yang diusung adalah semangat kebaharuan, Jazz Buzz Salihara adalah rumah dengan pintu yang terbuka. Tema Sans Frontieres (baca: tanpa batasan) yang kembali dipertahankan untuk keempat kalinya tahun ini menyiratkan satu hal; bahwa kancah jazz kita selalu butuh kualitas yang tidak lazim. Eksplorasi dan eksperimen, campur, lebur dan menabrak. Homogenitas yang beraspek komersial ditendang jauh dari sini. Jazz Buzz Salihara bukan Java Jazz atau Jazz Goes To Campus. Jazz Buzz Salihara merupakan festival bagi penikmat jazz yang punya cukup selera untuk berenang melintasi ‘zona seberang’.
Sebuah diskusi demi menemukan lagi lebih banyak bibit unggul ketidaklaziman komposisi jazz pun diadakan sore itu. Bahasannya
Jazz Sans Frontieres: Peluang dan Tantangannya. Duduk sebagai pembicara adalah pengarsip-pengamat musik David Tarigan dan Sri Hanuraga, musisi yang juga dosen jazz Universitas Pelita Harapan. Bersama moderator Aldo Sianturi mereka mencoba membedah berbagai persoalan di kancah jazz agar ditemukan solusi jalan keluarnya. Jadi, apa sebenarnya tantangan utama bagi musisi jazz agar bisa leluasa melintasi batasan-batasan, dan bagaimana caranya terus menjaga api kebaharuan dalam melahirkan karya tanpa harus mengorbankan diri – melacur – menyerah pada kepulan dapur?
Hanuraga menjawabnya lewat satu pertanyaan mendasar, benarkah sang musisi tersebut memiliki gairah sejati untuk berupaya melakukan pembaharuan yang berakar pada tradisi jazz, atau jangan-jangan dia hanya melakukannya sebagai upaya keren-kerenan belaka, agar terlihat seperti ‘jazz’?
Tarigan membagi pengalamannya ketika dulu di tahun 2006 silam memproduseri sebuah kompilasi bertajuk
Jazz Masa Kini dalam rangka menetaskan sejumlah talenta yang kala itu masih berada di luar radar khalayak umum. Kompilasi itu berhasil melahirkan Indra Aziz dan Tomorrow People Ensemble sebagai persona yang disegani hari ini. Album itu adalah versi jazz dari
JKT:SKRG untuk kancah indie. Dia juga menjelaskan sejarah masuknya jazz ke Indonesia serta kecenderungan musisi jazz era 50/60-an untuk berkompromi, bukan saja mengawinkannya dengan pop, tapi juga cha cha, rumba dan boogie woogie demi memancing euforia hadirin. Di antara angakatan itu yang paling menonjol adalah nama-nama macam Suyoso Karsono, Nick Mamahit, Bill Saragih, Lodi Item atau Mus Mualim.
Pun diceritakan: Tahun 1967 mencatat berangkatnya Indonesian All Stars ke Eropa, dan supergrup tersebut berhasil membuat publik Berlin Jazz Festival terpukau menganga. Isinya adalah para
godfather lokal: Bubi Chen, Jack Lesmana, Jopi Chen, Benny Mustapha dan saksofonis Maryono yang mengalunkan
glissando karawitan Sunda. Di sana mereka juga sempat melakukan rekaman bersama musisi jazz Amerika, Tony Scott, menghasilkan album brilian
Djanger Bali yang membingkai kecantikan budaya Nusantara kita dengan instrumen kontemporer Barat.
Diskusi itu lalu berakhir pada suatu kesimpulan, supaya terbit komposisi jazz yang bercita-cita melintasi batas normatif, seorang musisi harus terlebih dahulu memperkaya pengetahuan dan akses terhadap karya serta tulisan yang lebih luas dari sekadar idiom standar jazz. “Alangkah baiknya bila Salihara sebagai penyelenggara Jazz Buzz dapat mengambil peran yang lebih besar dalam usaha ini. Tidak hanya sebagai penyelenggara tetapi juga sebagai kolaborator dalam proses penciptaan penampil,” ungkap Hanuraga. Lalu dilanjutkan, “Segala upaya pengembangan atau eksperimen yang ingin memiliki pertalian dengan musik jazz haruslah bertolak belakang dari bebop.”
Bila kalian awam, bebop merupakan genre revolusi galangan sejumlah musisi jazz bawah tanah – kebanyakannya warga negro Harlem yang mulai bosan dengan ketrendian musik swing. Mereka butuh sesuatu yang lebih liar dan kompleks, lebih modern dari Louis Armstrong atau Benny Goodman atau orkestrasi
big band Duke Ellington yang usang. Dan sebagaimana semua bentuk pembaharuan di awal brojolnya, bebop dicerca karena dianggap menyalahi aturan tradisi jazz. Tapi siapa yang peduli tradisi jika Charlie Parker sudah meniup saksofon. Terobosan bebop telah membuat klab-klab jazz di seputaran 52nd Street, New York pada era 40-an dipenuhi dengan aksi solo pada seperempat – atau setumpuk volume tiga jari gelas wiski. Bebop adalah agresi pembangkangan pertama dalam jagad jazz.
Kemudian jika merunut pernyataan Hanuraga yang terakhir tadi tentang anti tesis bebop dalam pembaharuan jazz, maka Iwan Hasan adalah bukti sahihnya. Jangkauannya dilebarkan, selebar selera sang komposer yang merasuk dari Tipographica ke Djam Karet sampai Atheist dan
scoring Tom & Jerry. Pada penampilannya malam itu Hasan memainkan nomor
Sketches yang bernuansa etnik dengan menggunakan
prepared acoustic guitar, serta mengganti fungsi bas elektrik dengan tuba.
Perwujudan Third Stream digubahnya dalam komposisi
The Perverted Major 7th Swing di mana pemain dramnya dituntut mampu menahan tempo
double time swing-nya Buddy Rich. Pemandangannya sekilas seperti salah satu adegan di film Whiplash lengkap dengan konduktor berkepala plontosnya. Pertunjukan ditutup lewat sebuah opus bertajuk
Transcultural Echoes, debut rekaman Hasan yang beredar via kompilasi
Gitar Klinik di tahun 1998. Nomor c
haotic klasik dengan denting lentik harpa gitar berurutan alpha-omega.
Eksperimen sintetik jazz menjelma menjadi sebentuk dongeng kolosal di tangan Iwan Hasan. Dialah sang
sans frontieres yang dimaksudkan.
Sri Hanuraga dalam makalahnya untuk festival ini memetakan ragam penampil Jazz Buzz Salihara menjadi tiga jenis, pertama adalah musisi yang memang memainkan jazz ‘lintas batas’, yang memiliki pemahaman serta keterampilan sesuai dengan apa yang telah dijabarkan tentang jazz itu sendiri – menguasai ‘bahasa jazz’, meski bisa saja bukan musisi jazz. Itu berarti Hanuraga sendiri yang tampil pekan lalu (9/2) berduet dengan Gerald Situmorang.
Yang kedua, musisi jazz yang terpaku dalam batasan-batasan musik jazz yang sudah ada. Sebagian dari mereka melakukannya secara sadar karena preferensi mereka sendiri, tetapi sebagian lainnya melakukan karena suatu miskonsepsi. Mereka, seperti halnya kebanyakan musisi jazz di Indonesia, hanya sibuk mengikuti tren jazz arus utama di Amerika, alias peniru. Hmmm. Entah siapa yang dimaksud oleh Hanuraga, tapi secara tersirat penjelasannya mengatakan bahwa terdapat
poseur jazz di dalam deretan penampil festival ini.
Jenis terakhir adalah mereka yang musiknya di luar idiom jazz. Umumnya pernah bersentuhan dengan musik jazz, dari mendengarkan secara tidak mendalam maupun melalui buku-buku teori. Mereka tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap idiom dan sejarah jazz. Salah satu motivasi mereka untuk memainkannya ialah karena jazz menyediakan ruang improvisasi yang begitu luas, walaupun improvisasi yang dilakukan tidak berakar pada idiom musik jazz.
Status Iwan Hasan jelas berada di klasifikasi yang pertama – dia paham betul jazz, mengelotok hingga mampu berklingon dan bereksplorasi melintas batas dalam akar idiom jazz yang telah digelutinya sejak sekolah di Amerika dulu. Tapi pertanyaannya, apa sebenarnya yang dimaksud dengan idiom musik jazz itu sendiri?
Huh, itu pertanyaan yang gampang-gampang sulit untuk dijawab. Namun buat seorang tukang begadang yang gemar melahap Chet Baker sambil menenggaki sirup codein sebagai pelembut gelisah pada pukul setengah tiga dini hari, idiom jazz menurutnya adalah . . . improvisasi hati yang terbakar,
splat ummm dum dum rummm – pengkambinghitaman cinta terhadap tindakan cabul kesedihan, senja yang mati dan melodi yang mengalun seperti lelehan lilin kala rasa takut terbenam.
Ah, saya tidak yakin Sri Hanuraga bisa mengerti idiom barusan.
<
Penulis : Rio Tantomo
Editor : Antie Mauliawati
Dokumentasi : Komunitas Salihara