Bicaramusik.id - Bicara soal kancah musik indepen lokal tidak bisa lepas dari pergerakan dan perkembangan
melodic punk di Bandung. Salah satu sub-genre
punk yang dianut dari Negeri Paman Sam ini pernah menjelma jadi demam yang melanda anak-anak muda di setiap sudut Kota Kembang. Nama-nama besar seperti Descendants, Black Flag, The Offspring, hingga Green Day berhasil menyuntikkan gaya bermusiknya hingga menjamur dengan pesat.
Era 90-an akhir sampai 2000-an awal adalah tonggak kejayaan musik
punk nyerempet
emo itu menyeruak.
Dentuman drum
single stroke khas
punk; satu
riff cepat dengan tiga atau empat akor saja di setiap bagian lagu, juga sentuhan melodi gitar bertubi-tubi mengiringi vokal; dan teknik bernyanyi cepat adalah ciri utama
melodic punk. Meski pun pada akhirnya, tidak melulu begitu,
genre ini banyak beranak pinak. Bandung sangat produktif melahirkan band-band dengan gaya musik serupa pada masa kejayaannya. Akan tetapi, tulisan ini tidak akan membahas bagaimana sejarah dan kenapa
genre satu ini disepakati jadi
melodic punk karena ada bahasan lain yang lebih mendesak.
Belum lama ini, Geekmonger Records meluncurkan rilisan terbarunya,
Forever Punk, Forever Sucks. Label rekaman yang diasuh di Bandung ini menggaet enam band dari berbagai macam
genre untuk membawakan nomor-nomor
melodic punk dari enam band Bandung era awal 2000 an. Enam trek dalam album kompilasi ini bagaikan sebuah nostalgia pendek namun padat untuk pencinta musik yang tumbuh pada era tersebut.
“Banyak band luar negeri yang di-
bikinin tribute sama yang lebih muda, Ramones, Misfits. Kenapa di lokal gak ada yang pernah bikin? Kalau
gigs banyak, cuma kalau rilisan jarang,“ tutur Prabu (Saturday Night Karaoke) selaku bapak dari Geekmonger ketika ditanya mengenai gagasan awal kompilasi tersebut. “Menarik juga ada
roots melodic punk di band-band yang
genre-nya beda, ternyata
impact-nya sebesar itu”.
Tidak perlu basa-basi lagi, langsung aja kita bahas enam nomor hasil gubahan ulang dalam album kompilasi ini.
Di urutan pertama, trio
melodic punk kenamaan asal Bandung, Saturday Night Karaoke, maju sebagai pembuka membawakan sebuah hit milik trio pendahulunya, Nudist Island, berjudul “Radio”. Jelas, salah satu lagu andalan itu dibawakan dengan tempo yang sedikit lebih
geber. Sedikit saja, tidak banyak-banyak. Tegasnya tempo cepat ini tentunya digawangi oleh Atif yang menggebuk drum tanpa kompromi di setiap bagan.
Meski pun tidak banyak diubah sedemikian rupa. Rasanya, versi baru “Radio” dengan harmonisasi vokal yang lebih paten dan enak ini cukup sepadan dan segar dari lagu aslinya. Elemen umur dan teknis lumayan terdengar jelas, tentu dengan nuansa 2000-an awal yang tidak hilang.
Trek kedua diperkuat unit pop
punk asal Bandung, SvanaMvana membawakan ulang lagu “My Declaration” milik The Marmars. Dibanding versi sebelumnya yang terdengar mentah, kali ini lagu itu dibawakan dengan gaya yang sedikit teknikal dan lebih “kekinian”. Berbagai sentuhan cantik dengan beberapa sentuhan
pinch harmonic gitar di beberapa bagian yang tepat misalnya, juga ketukan yang dibikin agak
kagok membuat lagu ini terdengar lebih seru dan padat.Unsur
melodic jusru lebih terasa ketika dibawakan ulang oleh SvanaMvana ketimbang lagu aslinya.
Ketika mendengarkan album ini, trek ketiga dan keempat adalah nomor yang paling menarik perhatian. Dua trek ini bisa dikatakan menjadi pembeda di antara nomor-nomor lainnya. Ternyata benar, dampak demam
melodic merambat ke banyak
genre musik lainnya.
Sebuah tembang dari Closehead berjudul “Eat My Day” diubah cukup total oleh band asal Tanjungsari, Toy Tambourine di trek ketiga. Sejak menit-menit awal, pendengar sudah langsung diajak keluar dari dunia
melodic punk. Semuanya berjalan aman. Beberapa detik setelah vokal masuk, suara Mirza yang notabene satu-satunya personel tetap Toy Tambourine terdengar sedikit ke-Hindia-Hindiaan dengan
auto tune-nya. Namun, secara keseluruhan, lagu penuh
sound dari pedal
chorus (ciri khas Mirza di band lainnya, Soft Blood) ini tetap bisa dinikmati.
Di luar itu, Toy Tambourine sangat berani melebur instrumen distorsi dan tempo cepat Closehead jadi lagu yang sangat elektronik. Tidak ketinggalan efek chorus mendominasi “Eat My Day” versi mendayu-dayu satu ini. Namun, dengan ramuan yang terdengar
lo-fi, Mirza jelas lebih organik dan substansial ketimbang Baskara.
Hail, Tanjungsari
pride! Hahaha!
Toy Tambourine tidak sendiri soal mengubah drastis lagu-lagu
punk. Gaya
lo-fi juga jadi suasana pembeda lain di trek selanjutnya.
Nomor keempat
, diisi oleh Mollymullet yang menyulap “Ego” milik Disconnected jadi lagu manja. Lagu yang awalnya pekat dengat warna semangat ala pop-punk sedikit
emo ini berubah jauh dari versi aslinya. Mollymullet memilih untuk menghilangkan unsur drum dari lagu tersebut dan mengalihkannya ke petikan-petikan gitar penuh
flanger yang menurut sedikit menggelikan. Melodi khas pop-punk pun benar-benar hilang.
Namun, sepertinya Molly gagal mengubah salah satu hit Disconnected ini jadi suatu hal yang menyenangkan. Terutama, di bagian vokal. Sepertinya akan ada beberapa kalangan yang menyadari banyak
false di versi ini. Entah sengaja atau tidak. Gadis mabuk sedang galau yang gemar bernyanyi di kamar mandi jadi visualisasi yang langsung terbayang di kepala.
Kemungkinan besar siapa pun akan lebih suka versi aslinya. Mungkin frasa yang tepat untuk lagu ini adalah “terlalu berani”.
Geser sedikit dari Bandung, menuju kaki Gunung Manglayang. Sebuah kuartet
punk-rock Breh And The Bangsat tidak mau kalah dengan
line up lainnya. Di trek kelima, grup yang lahir di Jatinangor ini memanfaatkan peluangnya untuk membawakan ulang lagu Sendal Jepit bertajuk “Solar Queen”. Bisa membayangkan bagaimana punk
bodor ini menyanyikan lagu
melodic?
Ya, Breh dan kawan-kawan memang paling jago kurang ajar. Lagu salah satu pionir
melodic punk asal Bandung itu dibungkus jadi sebuah nomor
punk-rock cepat. Gimik komedi juga tidak lupa mereka sisipkan dengan menambah elemen intro yang sebenarnya tidak lucu-lucu amat. Yang jelas, versi dari unit
punk satu ini lebih dekat dengan telinga para pecinta musik keras.
Ada tiga hal paling menonjol dari “Solar Queen” versi Breh And The Bangsat. Hal yang paling jelas tentu saja suara gitar yang ricuh dengan bantuan tebalnya distorsi ketimbang versi aslinya. Breh pada gitar juga rela mengebiri suara gitar
twangy yang telah jadi ciri khas band tersebut jadi suara yang agak lebih berat. Di bagian drum, permainan jadi jauh lebih brutal. Kebrutalan itu disempurnakan dengan banyak unsur
d-beat yang memadati seluruh bagan lagu.
Sementara itu, vokal yang sebelumnya harmonis antara suara satu dan dua seperti
melodic punk pada umumnya diubah Breh And The Bangsat menjadi lebih teriak dan maskulin. Mungkin ini jadi salah satu opsi karena suara asli Imanbonyok yang memang bisa diakui sedikit banyak jauh dari kata merdu. Beruntung juga vokal pengiring yang gagah ikut mengiringi sehingga lagu ini tetap enak dinyanyikan.
Di urutan terakhir, Hockey Hook berhasil jadi pemungkas yang padat dengan gubahan ulang lagu Buckskin Bugle berjudul “Dengan Kerasnya!”. Unit
skapunk asal Bandung ini meracik ulang nomor
melodic itu dengan gaya dan semangat baru. Seluruh melodi gitar yang sebelumnya cukup mendominasi lagu, dengan cerdik diganti jadi harmonisasi
brass section yang telak membuat musiknya jadi lebih megah sambil diiringi kocokan gitar
ala ska sepanjang lagu.
Bagian paling keren adalah ketika anak-anak
skapunk bandel ini lebih memilih bagan
breakdown jadi sebuah wahana
skankin’ dengan bantuan perkusi. Dari keseluruhan enam trek, Hockey Hook muncul dengan gubahan paling lengkap tanpa kehilangan inti lagu.
“Jadi tantangan buat mengaransemen ulang lagu-lagu yang dipilih, contohnya kayak Hockey Hook sendiri, lumayan PR (pekerjaan rumah), tapi seru!” ujar Ongki sang pentolan saat memberi tanggapan soal album tersebut. “
Ngecover band-band luar
mah udah banyak,
cover band lokal dan temen-temen sendiri yang jarang,” pungkasnya sambil tertawa.
Secara keseluruhan, album kompilasi ini memang cukup menarik dan wajib didengar buat para pecinta
melodic punk. Album ini juga berhasil membawa pendengar merasa kembali ke era 2000-an awal dan jadi salah satu dokumentasi bagus yang bakal mengikat tali sejarah pergerakannya.
Geekmonger Records telah menghelat pesta perilisan “Forver Punk, Forever Sucks” di Sektor 45, Banduung pada Sabtu (7/3) kemarin. Kabarnya pesta tersebut berlangsung hikmat dan didatangi beberapa pendahulu
melodic punk yang punya pengaruh.
Penulis: Abyan Nabilio
Gambar: Dok. Geekmonger Records